JAKARTA, KOMPAS.TV - Aksi unjuk rasa terjadi tak hanya di Jakarta, namun meluas di banyak wilayah di Indonesia. Aktivis 1998, Savic Ali mengatakan penyelidikan harus melibatkan tim independen.
Penegak hukum bukan hanya menciptakan keamanan, ketertiban, tetapi menjamin agar kemanusiaan aman. Tetapi yang terjadi justru pelanggaran muncul dari aparat penegak hukum.
Publik sangat marah, karena tindakan represi dari aparat bukan pertama kali terjadi.
"Dalam beberapa tahun kita mengenal peristiwa kekerasan yang dilakukan kepolisian. Ketika ada bentrokan di lapangan, siapapun bisa jadi korban. Ketika situasinya sudah seperti itu nyaris ada org yang tidak bersalah jadi korban," katanya.
Rektor UII, Fathul Wahid menyebut tidak menutup kemungkinan ada penumpang gelap dalam peristiwa ini. Ada kekhawatiran suara-suara murni yang mewakili keresahan publik ditunggangi oleh kelompok ini. Belum diketahui mengapa kelompok ini anarkis.
Pemikir Kebinekaan, Sukidi melihat ada kemarahan publik yang diartikulasikan rakyat kepada pemerintah yang dianggap gagal merawat dan harapan.
Kebijakan ekonomi, politik, gagal menyejahteraan rakyat. Ada ketidakamanan ekonomi rakyat terkait lapangan kerja, pendapatan turun, dan masalah PHK yang masif.
Ada pula sikap elite yang tidak mencerminkan empati terhadap penderitaan rakyat. Negara begitu represif thd demonstran, alih-alih mendengarkan aspirasi dan kritik, tidak humanis terhadap demonstran. Serta kritik untuk aparat.
"Hukum tidak lagi dipakai untuk menegakkan keadilan, tapi senjata politik untuk merawat ketidakadilan. Ada perasaan ketidakadilan begitu luas, dan itu rentan membuat kemarahan publik. Akumulasi kemarahan publik. Ini warning besar bagi pemerintah," katanya.
Bagaimana pendapatmu?
Selengkapnya saksikan di sini:
https://youtu.be/ABsqfGlgPK8
#demo #dpr #tunjangan
Artikel ini bisa dilihat di : https://www.kompas.tv/talkshow/615502/demo-dpr-kemarahan-publik-hingga-represi-aparat-satu-meja